Pagi itu sehabis membeli tas untuk mengganti tas saya yang rusak kemarin, saya singgah di suatu warung kopi di pinggir jalan Medan-Banda Aceh. Kota Geudong masih sepi, masih sekitar jam 7.30 WIB. Saya memesan sepiring nasi dan segelas milo hangat. Setelah itu saya menuju sebuah meja yang cuma diisi oleh seorang pria umuran 30-an. Begitu dua pesanan saya disajikan ke atas meja saya menyapa pria tersebut dan menawarkannya makan bersama. Tapi dia menolak,"Makasih mas" sembari mengangkat kedua tangannya.
Sekilas dari wajahnya dia nampak bukan orang Aceh, tapi orang Jawa (bagi saya sama saja). Sambil menikmati nasi dan milo hangat saya coba mengajak dia ngobrol. Benar saja dugaan saya, dia seorang pria asal Sukabumi yang mengadu peruntungan di Bumi Malikussaleh. Katanya dia baru sekitar 4 bulan berada di Aceh dengan bekerja sebagai penjaja roti. Dia juga menunjukkan dagangannya kepada saya yang diparkirnya di depan kios samping warung kopi tempat kami menikmati sarapan. Kebetulan juga kios itu belum buka.
Saya tertarik untuk semakin tahu tentang perjuangan pria itu hingga membuatnya harus mengais rezeki di Bumi Serambi Mekkah. Berdasarkan pengakuannya dia dulunya pernah berprofesi sebagai nelayan dan tukang ojek. Tapi penghasilannya kadang kurang bisa menutupi kebutuhan keluarga. Dia sudah dikaruniai 3 orang buah hati. Anak sulungnya bahkan sudah duduk di bangku kelas 2 SMP. Mungkin kita bisa bayangkan berapa kebutuhan rutinnya setiap hari untuk membiayai pendidikan dan bertahan hidup.