Jumat, 31 Desember 2010

Melihat Sebelum Melangkah (Refleksi Pergantian Tahun)

Ucapan selamat dengan berbagai media marak dilakukan dalam menyambut tahun baru 2011. Semua situs jejaring sosial dipenuhi dengan kata-kata dan gambar kartu ucapan selamat. Begitu pula dengan para pengguna ponsel yang sibuk menerima dan mengirimkan ucapan selamat tahun baru. Puncaknya pun akan terjadi malam nanti saat menunggu detik-detik pergantian tahun.

Berbagai cara dilakukan dalam upaya memeriahkan malam pergantian tahun. Ada yang katanya mempersiapkan jagung bakar, ikan bakar, ayam bakar dan sebagainya. Semua kegiatan itu dilakukan di luar rumah dengan cara berkumpul bersama teman kerja atau teman sekolah. Tidak sedikit pula yang menyatu bersama sang kekasih untuk ikut menghabiskan malam dan menyambut datangnya 1 Januari 2011.

Ada pula yang berkeliling dengan menggunakan sepeda motor melakukan pawai di jalan bak orang yang baru saja meraih kemenangan. Kembang api akan menjadi salah satu pilihan yang akan dinyalakan begitu detik jam bergeser ke tanggal 1. Tepuk tangan dan sorak sorai pun akan membahana diwarnai dengan kegembiraan yang terukir dengan senyum manis di wajah masing-masing.
Di balik semua peristiwa itu apakah kita tahu apa yang sedang kita kerjakan? Mari sedikit melirik ke belakang membuka lembaran catatan sejarah. Coba kita selidiki dari manakah peristiwa semacam itu bermula. Baru kita berpikir pantaskah kita melakukan seremonial itu.

Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.

Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.

Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.

Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.

Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahui, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka—yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja—Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.

Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).

Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year's Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.

Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba futbol Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. 

Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang menerikkan "Selamat Tahun Baru" dan menyanyikan Auld Lang Syne. Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!

Bagi kita, orang Islam, merayakan tahun baru Masehi, tentu saja akan semakin ikut andil dalam menghapus jejak-jejak sejarah Islam yang hebat. Sementara beberapa pekan yang lalu, kita semua sudah melewati tahun baru Muharram, dengan sepi tanpa gemuruh apapun.

Bukankah sebaiknya kita menyambut pergantian tahun ini dengan melakukan hal-hal yang positif? Semisal melakukan introspeksi diri dengan apa yang telah kita lakukan dalam setahun ini. Atau juga dengan mencontoh apa yang dilakukan ribuan warga di Masjid Baiturrahman Banda Aceh. Insya Allah itu lebih baik.

(Dari www.eramuslim.com dan berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar